Popular Post

Popular Posts

Recent post

Archive for December 2014

Komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik).
Organisasi - organisasi media ini akan menyebarluaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat.
Dalam komunikasi masa, media masa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak.

Ciri-ciri komunikasi massa
1.       Menggunakan media masa dengan organisasi (lembaga media) yang jelas.
2.       Komunikator memiliki keahlian tertentu
3.       Pesan searah dan umum, serta melalui proses produksi dan terencana
4.       Khalayak yang dituju heterogen dan anonym
5.       Kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan
6.       Ada pengaruh yang dikehendaki
7.       Dalam konteks sosial terjadi saling memengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya.
8.       Hubungan antara komunikator (biasanya media massa) dan komunikan (pemirsanya) tidak bersifat pribadi.

Efek komunikasi masa
Berdasarkan teorinya, efek komunikasi masa dibedakan menjadi tiga macam efek, yaitu efek terhadap individu, masyarakat, dan kebudayaan.

Efek komunikasi masa terhadap individu
Menurut Steven A. Chafee, komunikasi masa memiliki efek-efek berikut terhadap individu:
Ø  Efek ekonomis :  menyediakan pekerjaan, menggerakkan ekonomi (contoh: dengan adanya industri media massa membuka lowongan pekerjaan)
Ø  Efek social :  menunjukkan status (contoh: seseorang kadang-kadang dinilai dari media massa yang ia baca, seperti surat kabar pos kota memiliki pembaca berbeda dibandingkan dengan pembaca surat kabar Kompas.
Ø  Efek penjadwalan kegiatan
Ø  Efek penyaluran/ penghilang perasaan
Ø  Efek perasaan terhadap jenis media

Menurut Kappler (1960) komunikasi masa juga memiliki efek:
Ø  conversi, yaitu menyebabkan perubahan yang diinginkan dan perubahan yang tidak diinginkan.
Ø  memperlancar atau malah mencegah perubahan
Ø  memperkuat keadaan (nilai, norma, dan ideologi) yang ada.

Contoh Kasus 
 Sebagaimana telah di singgung di atas, komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media massa sebagai saluran penyampaiannya. Maraknya tayangan kekerasan atau seperti teroris di televisi dewasa ini seperti di RCTI, di INDOSIAR, di TPI, di TV One, di Metro TV, Di Antv merupakan fenomena baru dalam tayangan televisi di Indonesia. Dalam format tayangannya, program siaran berbau kekerasan atau teroris tersebut mewabah ke stasiun televisi lainnya.
Kejenuhan masyarakat selama ini yang selalu di sodorkan dengan berita-berita politik atau gosip-gosip. Berita teroris sebagai proses pembaharuan program tayangan dan mencuri pasar media. Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita politik , gosip-gosip selebriti membuat masyarakat jenuh dan akhirnya secara tidak langsung berharap agar stasiun televisi kreative dan melahirkan program siaran yang baru.
Dalam tayangannya, seorang tersangka atau pelaku tindak kriminal di buru oleh Polisi. Jika si pelaku melarikan diri, Polisi akan mengejar dan menembak pelaku tersebut. Seluruh proses penggerebekan, pengejaran dan penembakan pelaku kriminal ini di rekam oleh kamera wartawan yang mengikuti proses penangkapan tersebut. Bahkan, dalam gambar yang di tampilkan, tidak jarang bercak darah bekas penembakan terlihat jelas oleh masyarakat sebagai penonton setia tayangan tersebut. Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung seperti ini dengan bercak darah dan kekerasan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran. Hal ini tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 12 yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
Namun, pada kenyataannya, tayangan jenis ini semakin berkembang di Indonesia. Dan hampir semua berita tersebut di tayangkan secara serentak. Bahkan di siarkan khusus program televisi khusus bertema criminalitas. Yang ditayangkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kriminalitas menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya.
Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating program televisi yang memperlihatkan bahwa tayangan bertema kriminalitas, di samping infotainment , menjadi primadona dengan menempati ranking-ranking teratas program yang paling banyak ditonton khalayak. Mencermati fenomena ini, jelas bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia sendiri telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat diterpa informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga memperbesar kemungkinan berlakunya efek media pada masyarakat. Kenyataan ini lah yang membuat risau masyarakat di seluruh Indonesia terhadap tayangan kekerasan tersebut.
Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi sama saja dengan menggantang asap di atas perapian. Stasiun televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun harus berlipat ganda. Bagaimana dengan instrumen hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun, media massa tidak mau diatur. Apalagi dalam pembatasan isi siaran, yang kerap dimaknai secara sepihak sebagai pembatasan kebebasan pers.
Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi (bertema kriminalitas) sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau repot-repot memikirkan dampak etis pemberitaannya. Kalau ada yang sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah mau disalahkan. Salahkan saja penontonnya, kenapa mau saja menonton, dan kenapa bisa sampai terpengaruh. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan orang tua / BO) bertuliskan pembatasan usia penonton pada acara-acara “keras”.
Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh mustahil untuk mengontrol pembatasan usia penonton. Untuk menjawab itu semua penonton sendirilah kini yang harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi, sehingga tidak terseret arus dominan realitas televisi (berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya, dan tidak ada ruginya berpuasa dari tontonan televisi yang tidak mencerdaskan.
Indonesia juga perlu mempunyai program televisi yang tujuan untuk mendidik dan berfungsi untuk mengontrol masyarakatnya. Dalam kerangka sistem kapitalisme global industri media massa saat ini, di mana materi menjadi penentu segalanya, hanya penonton selaku konsumenlah yang punya kekuatan untuk memaksa stasiun televisi menayangkan informasi-informasi kriminalitas (atau informasi apa pun) secara etis, dan lebih mencerdaskan penonton.
Dan yang lebih membahayakan lagi, dampak siaran media televisi tentang kekerasan atau teroris ini berdampak terhadap anak-anka kecil. Memang TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Ada beberapa dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Yaitu : Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang “tidak apa-apa” memukul dan menganiaya orang lain?
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. “Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan seperti perasaan tertekan, atau BT atau untuk mencoba lari dari perasaan-perasaan yang membingungkan itu,”
Menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual.
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. “Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli,” tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. “Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton.”
Dan disinilah peran orangtua di butuhkan, dan tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan.
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. “Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak,”
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.

Komunikasi Massa

- Copyright © Manajemen Informatika - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -